27.12.07

Pendidikan Kepamongprajaan

  • Oleh Abu Su'ud

Pendidikan calon pejabat pamong praja diselenggarakan bersama-sama pendidikan keilmuan pada fakultas ilmu sosial politik di bawah Depdiknas. Semua bidang keilmuan yang dibutuhkan untuk calon pejabat pamong praja dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah bisa diperoleh di sana.

MUSIBAH yang menimpa Menteri Dalam Negeri M Ma'ruf meninggalkan PR yang menantang bagi pelaksana tugas beliau. Seperti kita ketahui, Mendagri dirawat di rumah sakit karena gangguan kesehatan yang cukup serius, bahkan akan segera dirawat ke Singapura. Kemudian meledak skandal yang menimpa IPDN menyusul musibah yang menimpa Mendagri itu, berupa skandal kematian seorang praja IPDN asal Sulawesi Utara bernama Cliff Muntu, akibat penganiayaan yang dilakukan sejumlah seniornya.

Konon penganiayaan itu merupakan bagian dari praktik pembinaan yang secara sistematis digelar dalam sistem pendidikan di IPDN di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Lalu meledak kembali ingatan kita pada skandal yang sama tiga tahun silam yang menimpa praja Wahyu Hidayat. Demikian dahsyat kasus itu menampar dunia pembinaan generasi muda dalam IPDN, sehingga Presiden SBY harus turun tangan dan melakukan kebijakan mendasar atas lembaga pendidikan bagi calon pelaksana pemerintahan dalam negeri. Selama satu tahun akademik lembaga pendidikan itu tidak diperkenankan menerima mahasiswa baru.

Serentak bangsa ini marah dan bangkit untuk menuntut dilakukannya tindakan terapik bagi lembaga pendidikan IPDN yang dianggap sedang sakit. Rektornya dituntut untuk dinonaktifkan dari jabatannya dan harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya dalam memimpin IPDN. Lebih dari itu IPDN harus dibubarkan menurut tuntutan rakyat yang marah. Lalu dibentukan tim pencari fakta dan memberi evaluasi dan memberi rekomendasi atas lembaga pendidikan itu, yang dipimpin oleh Ryas Rasyid, yang bukan orang baru dalam berbagai isu di sekitar pemerintahan dalam negeri.

Sementara itu secara beruntun departemen dalam negeri tengah menggelar berbagai acara pemilihan kepala daerah dari berbagai jenjang. Di tingkat desa digelar pilkades. Di tingkat kabupaten/kota tengah digelar pula pilkada. Di tingkat provinsi tengah pula digelar atau disiapkan untuk digelar pilgub. Apa hubungan di antara kedua peristiwa itu? Antara upaya penataan lembaga pendidikan bagi aparat pemerintahan dalam negeri di IPDN dengan pemilihan kepala daerah atau pilkada yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat pemilih itu? Akankah perlu dilakukan perubahan dalam sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah ?


Pangreh Praja dan Pamong Praja

Di masa pemerintahan penjajahan dulu pemerintahan dalam negeri atau tepatnya pemerintahan daerah jajahan di seberang lautan dikelola oleh pangreh praja. Mereka terdiri atas para pejabat pribumi. Mereka berada di bawah pengendalian para pejabat Belanda yang memerintah atas nama Mahkota Kerajaan Belanda, meskipun mereka juga memiliki darah keturunan bangsawan Jawa. Dalam sistem pemerintahan para pejabat pribumi itu disebut pangreh praja.

Secara harfiah maknanya adalah lembaga yang mengereh, yaitu menguasai, memerintah, dan menentukan jalannya pemerintahan atas rakyat, yang waktu itu disebut sebagai kawula atau hamba sahaya. Jadi secara harfiah istilah itu membenarkan kalau instansi itu disebut pemerintah.

Perlukah dengan demikian kita mengubah istilah pemerintah agar tidak terkesan sebagai pe-ngereh. Namun bagaimana lagi, karena dalam bahasa aslinya, di negeri asal demokrasi, kata government juga berarti "pemerintah" atau pengereh.

Setelah masa kemerdekaan istilah itu lebih dihaluskan menjadi "pamong praja". Fungsinya bukan untuk "memerintah" melainkan mengemong atau mengasuh. Rakyat bukan lagi bernama kawula melainkan "warga".

Kalau benar bahwa skandal kematian para praja IPDN itu merupakan bagian dari sistem pembinaan dan sistem pendidikan bagi calon para aparat pemerintahan dalam negeri nampaknya relevan dengan semangat pangreh praja di masa silam. Oleh karena itu kalau kita hendak menekankan perlunya fungsi "pamong praja", maka sistem pendidikan dan sistem pembinaan terhadap para praja harus diubah pula secara mendasar.

Banyak yang mengusulkan agar secara kelembagaan IPDN dibubarkan. Artinya pendidikan calon pejabat pamong praja tidak disiapkan atau diselenggarakan dalam lembaga pendidikan dinas, seperti Akademi Kepolisian, Akademi Militer, maupun Akademi Maritim. Sebaiknya, menurut pertimbangan pengusul agar pendidikan calon pejabat pamong praja itu diselenggarakan bersama-sama pendidikan keilmuan pada fakultas ilmu sosial politik pada universitas di bawah Depdiknas.

Semua bidang keilmuan yang dibutuhkan untuk calon pejabat pamong praja dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah bisa diperoleh di sana. Rasanya maksud itu masuk akal, supaya calon pejabat pamong praja itu tidak tumbuh bersifat militeristik, seperti calon tentara maupun polisi.

Dalam pendidikan kemiliteran maupun kepolisian sejauh ini tidak sampai menimbulkan ekses terjadinya skandal kematian sebagai akibat "sistem pembinaan". Oleh karenanya sistem asrama bukan menjadi faktor penentu terjadinya ekses tersebut, sehingga pembubaran IPDN bukan merupakan solusi yang diperlukan. Yang diperlukan justru pembenahan sistem pendidikan, kurikulum maupun sistem pembinaan.


Pilkada

Pemerintahan dalam negeri menurut perundangan kita pada dasarnya sebuah sistem organisasi sosial dengan mengikuti tertib sipil (civil order). Sistem organisasinya sebaiknya ditata dengan cara sipil pula. Oleh karenanya tidak cocok kalau pembinaannya dilakukan dengan cara militeristik. Kondisi semacam itu sudah harus dikondisikan sejak masa pendidikan para pejabat pemerintahan. Sangatlah tidak cocok kalau sistem pendidikan dasar mereka dikembangkan dengan menggunakan pembinaan yang militeristik, seperti dalam IPDN sekarang ini.

Pilkada merupakan cara memilih kepemimpinan pemerintahan sipil kepamongprajaan yang demokratis. Para pemimpin yang akan menjadi kepala daerah dipilih dari antara warga daerah sendiri oleh warga masyarakat sendiri. Namun karena kepala daerah bukanlah jabatan karier, melainkan jabatan politis, tidak perlu calon pemimpin itu berasal dari tenaga akademis kepamongprajaan ataupun akademisi tata pemerintahan. Yang diperlukan adalah kepemimpinan sipil untuk tata masyarakat dalam tertib sipil. Sekali lagi yang lebih penting adalah sistem lebih dahulu, baru kemudian penerapan yang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Di sinilah pentingnya pemilihan kepemimpinan daerah dilakukan oleh rakyat untuk rakyat, dan rakyat ikut melakukan pengawasan dan kontrol atas pelaksanaan kepemimpinan kepamongprajaan. Para petugas atau pejabat pamong praja itu berada dalam sistem kepemimpinan yang penuh sinergis antara tenaga akademis, tenaga karier profesional, pemimpin demokratis, dan wakil rakyat dalam DPRD. (11)

- Prof Dr Abu Su'ud, rektor Universitas Muhammadiyah Semarang

http://www.suaramerdeka.com/harian/0704/23/opi03.htm

0 Comments:

 

© 2007 Kapita Selekta: Pendidikan Kepamongprajaan | Design by RAM | Template by : Unique