1.1.08

Putra Daerah

Oleh: Eep Saefulloh Fatah

Sejak akhir masa Orde Baru, diskusi "putra daerah" versus "bukan putra daerah" hampir selalu menghiasi setiap pemilihan kepala daerah. Diskusi biasanya berpusar pada argumen generik bahwa yang terbaik bagi sebuah daerah adalah memiliki pemimpin yang berasal dari daerah itu.

Di tengah suasana penyelenggaraan pemilihan langsung Kepala Daerah (Pilsungkada) saat ini, diskusi ini kembali mengemuka di mana-mana. Karena itu, relevan mempersoalkan: Benarkah kandidat putra daerah senantiasa lebih baik dibanding bukan putra daerah?

Jawabannya: Belum tentu. Mesti ditimbang lebih jauh dan layak: Dalam pengertian apakah sang kandidat kita sebut sebagai "putra daerah"? Seberapa jauh ia memenuhi kelayakan sebagai pemimpin daerah?

Belajar dari berbagai kasus pencalonan kepala daerah sejauh ini, kita bisa membuat sebuah kategori sederhana mengenai siapakah sang putra daerah itu. Pertama, "putra daerah genealogis," yakni mereka yang sekadar memiliki kaitan darah dengan daerah itu tetapi tidak menetap dan berkiprah (secara politik dan/atau ekonomi) di situ.

Putra daerah genealogis terbelah lagi ke dalam dua kategori: Mereka yang kebetulan dilahirkan di daerah bersangkutan dari (salah satu atau kedua) orang tua yang juga berasal daerah tersebut, dan mereka yang tidak dilahirkan di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah bersangkutan.

Kedua, "putra daerah politik", yakni putra daerah genealogis yang memiliki kaitan politik dengan daerah itu. Misalnya: Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah tertentu yang sebelumnya tak punya kiprah politik dan ekonomi di daerah tersebut atau Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat yang oleh partainya ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan genealogis dengannya.

Ketiga, "putra daerah ekonomi", yakni putra daerah genealogis yang karena kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Dalam konteks sistem politik dan ekonomi Indonesia, putra daerah politik dan ekonomi ini biasanya hanya hanya berhubungan dengan daerah asalnya secara pragmatis belaka.

Mereka membutuhkan daerah lebih banyak sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Tentu saja, sebaliknya, daerah itupun sedikit banyak bisa memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dari mereka.

Keempat, "putra daerah sosiologis", yakni mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah asalnya tetapi juga hidup, tumbuh dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat di daerah itu. Mereka sungguh-sungguh menjadi bagian sosiologis dari masyarakat daerahnya.

Kategorisasi sederhana ini bisa membantu kita memasuki diskusi soal putra daerah versus bukan putra daerah secara lebih layak dan seksama. Bahwa tak setiap mereka yang memiliki kaitan genealogis dengan daerah tertentu dengan serta merta akan memiliki pemahaman, pengetahuan, empati yang layak mengenai daerah tersebut.

Sangat boleh jadi, keterkaitan seseorang dengan daerah asalnya tak lebih dan tak kurang sebatas keterkaitan darah belaka atau hubungan pragmatisme politik atau ekonomi yang lebih banyak bersifat sepihak.

Secara teoritis, seorang "putra daerah sosiologis" lah yang berpotensi memiliki ikatan emosional paling tinggi dengan daerahnya. Karena itu, mereka pun potensial memiliki pemahaman, pengetahuan, empati yang paling layak terhadap persoalan-persoalan daerah bersangkutan. Persoalan kerapkali muncul di sini: Sang "putra daerah sosiologis" tak memiliki kapasitas ekonomi dan akses politik yang memadai untuk masuk ke dalam arena ?pilsungkada?.

Bagaimanapun, diskusi putra daerah versus bukan putra daerah boleh jadi penting, tetapi bukan segalanya.
Menurut hemat saya, soal putra daerah atau bukan sebetulnya perkara sekunder belaka. Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat.

Pemilih yang hanya menimbang "keaslian darah" sang kandidat berarti menjebak diri menjadi "pemilih primordial". Mereka belum menjadi "pemilih rasional-kalkulatif," yang menimbang perkara putra daerah dalam kaitan dengan kualitas kelayakan kepemimpinan sang kandidat.

Pemilih rasional-kalkulatif, sambil menimbang asal daerah kandidat, mempersoalkan: Seberapa jauh sang kandidat terbukti memiliki pemahaman, pengetahuan dan empati yang layak terhadap persoalan-persoalan daerah? Seberapa realistis dan menjanjikan rancangan program dan kebijakan-kebijakan yang ditawarkannya?

Seberapa jauh pula ia bisa dipercaya, terutama dikaitkan dengan rekam jejak karier politik dan ekonominya? Adakah jejak korupsi (politik dan/atau ekonomi) dalam karier itu? Seberapa besar kemauan dan komitmen sang kandidat untuk bekerja keras dan mewakafkan seluruh waktunya sebagai pemimpin daerah? Seberapa mampu ia membangun kepemimpinan kolektif yang profesional, kompeten, dan berintegritas?

Eep Saefulloh Fatah, Wakil Direktur Eksekutif The Indonesian Institute

TEMPO Interaktif, Senin, 18 April 2005 | 10:42 WIB

[+/-] Selengkapnya...

Republik Multisistem Pilkada

Oleh Dr. PANDJI SANTOSA M.Si

MASIH terlintas dalam pikiran kita, pada 11 Desember 2006, mata dunia terfokus di Sabang serambi mekah, di mana sebuah proses demokrasi tengah berlangsung. Hari itu merupakan tahap pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) untuk gubernur/wakil gubernur Provinsi Aceh dan 19 bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota yang dilakukan secara serempak. Sejumlah lembaga internasional pun ikut memantau jalannya pelaksanaan Pilkada Aceh, di antaranya European Union Election Observation Mission (UEEOM), Asian Network for Free Election (Anfrel), dan International Republican Institute (IRJ).

Sebuah proses demokrasi yang mahal dan jarang terjadi, hanya untuk sebuah pilkada gubernur dan wali kota/bupati, mungkin itu tatanan konteks konsekuensi logis politik dalam perspektif berdemorkasi yang terjadi di republik ini yang turut mengundang sorotan kontroversi politik dunia.

Di balik suksesnya pilkada di Provinsi NAD itu, berarti lengkaplah sudah kerancuan sistem pemerintahan daerah dalam satu negara di republik ini. Pasalnya, Indonesia yang menganut negara kesatuan, ternyata di dalamnya terdapat lima macam sistem pemerintahan daerah (khususnya dalam tata cara dan mekanisme pemilihan kepala daerah), yang cenderung berbeda-beda.

Di negeri tetangga kita, Filipina misalnya, menerapkan sistem negara kesatuan dengan otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Mindanau. Di RRC dianut sistem negara kesatuan pula dengan pemberian otonomi khusus untuk wilayah Hongkong. Kanada juga demikian, sistem negara federal dengan memberikan otonomi khusus bagi Quibek. Namun, di negara-negara tersebut, variasi sistem pemerintahan daerahnya tidak sebanyak yang dianut di Indonesia.

Ironis memang, Indonesia sebagai satu negara kesatuan di mana seharusnya hanya ada satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah di negara tersebut, (Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2006 halm. 94), akan tetapi dalam praktiknya, sistem pemerintahan daerah (khususnya sistem pemilihan kepala daerah atau sistem pilkada) setidaknya ada lima sistem yang dipergunakan, yakni (1). Pilkada berdasarkan UU No. 32/2004. (2). Pilkada berdasarkan UU No. 34/1999 khusus untuk provinsi daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. (3). Pilkada berdasarkan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (4). Pilkada berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. (5). Pilkada untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Bila ditelusuri perihal perbedaan antara UU yang satu terhadap yang lain, menurut UU No. 32/2004, persyaratan calon kepala daerah dan wakilnya tidak mengandung diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, gender, latar belakang status sosial ekonomi, asal daerah ataupun primordialisme lainnya. Siapapun dia, asal WNI dan telah berusia sekurang-kurangnya 30 tahun dan berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA atau sederajat, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dijatuhi hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap paling lama lima tahun atau lebih, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap, dapat diajukan sebagai calon kepala daerah atau wakilnya.

Lain halnya dengan persyaratan bagi calon kepala daerah untuk Provinsi NAD dan Papua maupun DIY terdapat perbedaan dari persyaratan umum, seperti diatur UU No. 32/2004. Di DIY misalnya, sekali pun belum ada aturan tertulis, tetapi telah ada kebiasaan gubernur dan wakil gubernur harus berasal dari keturunan kesultanan dan para pakualam. Di Provinsi NAD, disebutkan dalam pasal 67 ayat (2) huruf b UU No. 11/2006, setiap calon kepala daerah dan wakilnya harus menjalankan syariat agamanya. Di Provinsi Papua, menurut pasal 12 UU No. 21/2001, calon gubernur antara lain harus penduduk asli Papua dan berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara. Sementara DKI Jakarta, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat hanyalah pasangan gubernur dan wakil gubernurnya. Sebaliknya, wali kota dan wakilnya tidak dipilih secara langsung.

Perbedaan satu UU dengan lainnya juga terletak pada pihak yang berhak mencalonkan pasangan kepala daerah khusus untuk Provinsi NAD. Dalam pasal 67 dan 68, yang diberi hak mengajukan pasangan calon kepala daerah (provinsi, kabupaten, kota) bukan hanya partai politik (parpol) atau gabungan parpol tetapi juga perseorangan (calon independen) dan juga parpol lokal, atau gabungan parpol lokal. Di sini jelas terlihat multisistem pemerintahan daerah di Indonesia mengandung dua hal sekaligus, yakni selain membanggakan karena majemuknya juga membingungkan. Bingung karena kemajemukan dan perbedaan-perbedaan terjadi dalam satu negara yang didasarkan pada satu konstitusi (UUD 1945) dan satu falsafah (Pancasila), serta satu tujuan. Sebab, sebagai satu negara kesatuan yang mengakui dan menghormati hak asasi manusia dan kebhinekaan, seharusnya sistem pilkada berlaku sama untuk segenap wilayah Indonesia.

Alhasil, jika syarat calon kepala daerah dan pihak-pihak yang diperbolehkan mengajukan pasangan calon kepala daerah dalam berbagai peraturan perundangan tersebut di atas dihadapkan dengan asas-asas materi muatan peraturan perundangan, maka terdapat ketidaksesuaian antara satu dengan yang lainnya. Di sini ada perbedaan tidak senapas dengan UU No. 10/2004, pasal 6 ayat (1) tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain harus mengandung asas keadilan dalam arti harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali, dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dalam arti tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan atas dasar latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial; serta asas ketertiban dan kepastian hukum.

Sebab itu, UU No. 32/2004 seharusnya diagendakan kembali untuk direvisi dengan memasukkan hal-hal positif dari UU No. 11/2006 yang diberlakukan di NAD. Hal itu dapat dilakukan bersamaan dengan pembahasan revisi paket UU politik yang sudah diagendakan pemerintah dan DPR pada tahun 2007.

Untuk itu, meski terbilang berhasil dalam menyelenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004, namun dalam pilkada merupakan suatu tahap pencapaian baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan secara langsung atas presiden dan wakil presiden serta kepala-kepala daerah dan wakil-wakil kepala daerah, maka sekurang-kurangnya secara prosedural, kedaulatan politik benar-benar berada di tangan rakyat.

Melalui pilkada secara langsung, rakyat menentukan sendiri para pemimpin eksekutif daerah tanpa keterlibatan dan intervensi DPRD. Namun, sejauh mana kepala-kepala daerah hasil pilkada sungguh-sungguh bertanggung jawab dan keberpihakannya terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitu pula, kualitas demokrasi dan tata pemerintahan daerah hasil pilkada, mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.

Kendati demikian, berbagai kecenderungan proses dan hasil pilkada, tetap merupakan bahan kajian yang menarik. Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antarpartai dalam mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling menarik di balik penyelenggaraan pilkada di lebih dari 200 daerah di Indonesia. Daya tarik itu tidak hanya terletak pada kecenderungan yang berbeda dengan yang terjadi di tingkat nasional, melainkan juga pada "pola" koalisi antarpartai yang cenderung berbeda dengan hasil pemilu legislatif. Partai-partai yang secara ideologis sering dipandang sangat berbeda satu sama lain bahkan bisa saling berkoalisi dalam mengajukan pasangan kandidat dalam pilkada.***

Penulis, pemerhati masalah sosial politik juga Pembantu Dekan I FISIP dan Program Pascasarjana Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung.

Pikiran Rakyat

[+/-] Selengkapnya...

 

© 2007 Kapita Selekta: PILKADA | Design by RAM | Template by : Unique