Sejak akhir masa Orde Baru, diskusi "putra daerah" versus "bukan putra daerah" hampir selalu menghiasi setiap pemilihan kepala daerah. Diskusi biasanya berpusar pada argumen generik bahwa yang terbaik bagi sebuah daerah adalah memiliki pemimpin yang berasal dari daerah itu.
Di tengah suasana penyelenggaraan pemilihan langsung Kepala Daerah (Pilsungkada) saat ini, diskusi ini kembali mengemuka di mana-mana. Karena itu, relevan mempersoalkan: Benarkah kandidat putra daerah senantiasa lebih baik dibanding bukan putra daerah?
Jawabannya: Belum tentu. Mesti ditimbang lebih jauh dan layak: Dalam pengertian apakah sang kandidat kita sebut sebagai "putra daerah"? Seberapa jauh ia memenuhi kelayakan sebagai pemimpin daerah?
Belajar dari berbagai kasus pencalonan kepala daerah sejauh ini, kita bisa membuat sebuah kategori sederhana mengenai siapakah sang putra daerah itu. Pertama, "putra daerah genealogis," yakni mereka yang sekadar memiliki kaitan darah dengan daerah itu tetapi tidak menetap dan berkiprah (secara politik dan/atau ekonomi) di situ.
Putra daerah genealogis terbelah lagi ke dalam dua kategori: Mereka yang kebetulan dilahirkan di daerah bersangkutan dari (salah satu atau kedua) orang tua yang juga berasal daerah tersebut, dan mereka yang tidak dilahirkan di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah bersangkutan.
Kedua, "putra daerah politik", yakni putra daerah genealogis yang memiliki kaitan politik dengan daerah itu. Misalnya: Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah tertentu yang sebelumnya tak punya kiprah politik dan ekonomi di daerah tersebut atau Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat yang oleh partainya ditempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan genealogis dengannya.
Ketiga, "putra daerah ekonomi", yakni putra daerah genealogis yang karena kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Dalam konteks sistem politik dan ekonomi
Mereka membutuhkan daerah lebih banyak sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Tentu saja, sebaliknya, daerah itupun sedikit banyak bisa memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dari mereka.
Keempat, "putra daerah sosiologis", yakni mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah asalnya tetapi juga hidup, tumbuh dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat di daerah itu. Mereka sungguh-sungguh menjadi bagian sosiologis dari masyarakat daerahnya.
Kategorisasi sederhana ini bisa membantu kita memasuki diskusi soal putra daerah versus bukan putra daerah secara lebih layak dan seksama. Bahwa tak setiap mereka yang memiliki kaitan genealogis dengan daerah tertentu dengan serta merta akan memiliki pemahaman, pengetahuan, empati yang layak mengenai daerah tersebut.
Sangat boleh jadi, keterkaitan seseorang dengan daerah asalnya tak lebih dan tak kurang sebatas keterkaitan darah belaka atau hubungan pragmatisme politik atau ekonomi yang lebih banyak bersifat sepihak.
Secara teoritis, seorang "putra daerah sosiologis" lah yang berpotensi memiliki ikatan emosional paling tinggi dengan daerahnya. Karena itu, mereka pun potensial memiliki pemahaman, pengetahuan, empati yang paling layak terhadap persoalan-persoalan daerah bersangkutan. Persoalan kerapkali muncul di sini: Sang "putra daerah sosiologis" tak memiliki kapasitas ekonomi dan akses politik yang memadai untuk masuk ke dalam arena ?pilsungkada?.
Bagaimanapun, diskusi putra daerah versus bukan putra daerah boleh jadi penting, tetapi bukan segalanya. Menurut hemat saya, soal putra daerah atau bukan sebetulnya perkara sekunder belaka. Sementara yang lebih primer adalah kelayakan kepemimpinan sang kandidat.
Pemilih yang hanya menimbang "keaslian darah" sang kandidat berarti menjebak diri menjadi "pemilih primordial". Mereka belum menjadi "pemilih rasional-kalkulatif," yang menimbang perkara putra daerah dalam kaitan dengan kualitas kelayakan kepemimpinan sang kandidat.
Pemilih rasional-kalkulatif, sambil menimbang asal daerah kandidat, mempersoalkan: Seberapa jauh sang kandidat terbukti memiliki pemahaman, pengetahuan dan empati yang layak terhadap persoalan-persoalan daerah? Seberapa realistis dan menjanjikan rancangan program dan kebijakan-kebijakan yang ditawarkannya?
Seberapa jauh pula ia bisa dipercaya, terutama dikaitkan dengan rekam jejak karier politik dan ekonominya? Adakah jejak korupsi (politik dan/atau ekonomi) dalam karier itu? Seberapa besar kemauan dan komitmen sang kandidat untuk bekerja keras dan mewakafkan seluruh waktunya sebagai pemimpin daerah? Seberapa mampu ia membangun kepemimpinan kolektif yang profesional, kompeten, dan berintegritas?
TEMPO Interaktif, Senin, 18 April 2005 | 10:42 WIB